Jejak Waktu di Kota Kiamat
August 22, 2024
Di sebuah kota yang dulunya bernama Kaimana, tempat yang penuh dengan keceriaan dan kehidupan, kini hanya menyisakan reruntuhan. Kota ini dikenal sebagai Kota Kiamat. Asap tebal menutupi langit, dan bau busuk menguar dari sisa-sisa bangunan yang hancur. Jalanan yang dulunya ramai kini sepi, hanya dihuni oleh mereka yang tetap bertahan di tengah kepunahan.
Hidayah, seorang gadis berusia delapan belas tahun, adalah satu dari sedikit penghuni kota ini. Dengan rambutnya yang acak-acakan dan pakaian yang usang, ia memutar-mutar takdirnya setiap hari, mencari cara untuk bertahan hidup. Ia tinggal di sebuah rumah yang hanya tersisa dinding dan atap yang setengah runtuh. Keluarganya telah pergi, meninggalkannya seorang diri di dunia yang telah berubah.
Setiap pagi, Hidayah berkeliling kota mencari bahan makanan dan air bersih. Ia mengandalkan ingatan akan tempat-tempat yang dulunya wisatawan kunjungi. Namun, hari itu sedikit berbeda. Ketika ia menjelajahi sisa-sisa sebuah gedung perkantoran yang hancur, pandangannya tertuju pada sebuah benda yang bersinar di bawah reruntuhan. Ia mendekat dan menemukan sebuah jam tangan antik yang tergeletak di atas tumpukan serpihan.
Jam tangan itu tampak berkilau meskipun ditutupi debu dan kotoran. Hidayah dengan hati-hati mengangkatnya dan mengamati. Layaknya jam biasa, tetapi anehnya, jarum jamnya tidak bergerak. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk membawa jam itu pulang. Sejak saat itu, segalanya mulai berubah.
Di malam hari, ketika Hidayah berbaring di ranjangnya yang sederhana, ia menyentuh jam tangan itu, dan tiba-tiba, jarumnya bergerak. Dalam sekejap, ia merasakan sebuah tarikan kuat, seolah waktu menariknya ke tempat lain. Ketika kesadarannya kembali, ia terbangun di jalanan yang sama, tetapi kali ini, segalanya tampak berbeda. Bangunan berdiri kokoh, lampu-lampu bersinar cerah, dan suara tawa anak-anak mengisi udara. Hidayah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Ia segera bangkit dan berjalan. Koperasi, kafe, dan toko-toko ramai, seolah kota ini baru saja dilahirkan kembali. Di setiap sudut, wajah-wajah ceria menyambutnya. Ketika Hidayah bertanya kepada salah seorang pengunjung tentang apa yang terjadi, ia mendapati bahwa hari itu adalah hari yang sama, tapi dengan tahun yang berbeda—sebuah waktu sebelum kehancuran kota.
Hidayah terperangah. “Apakah ini mimpi?” pikirnya. Namun, setelah beberapa kali mengulangi percobaan itu, ia menyadari bahwa jam tangan itu memberinya kesempatan untuk bergerak melalui waktu. Hidayah berusaha menjelajahi setiap sudut kota, kembali ke masa ketika semuanya baik-baik saja, saat orang-orang saling membantu satu sama lain.
Namun, seiring dengan penemuan yang membahagiakannya itu, timbul rasa rindu yang mendalam terhadap kehidupan yang ia tinggalkan. Setiap kali ia kembali ke jaman yang lebih baik, pikirannya terjerat antara pilihan—apakah ia akan bertahan dan melihat masa lalu atau kembali ke kenyataan pahit di Kota Kiamat. Perang batin ini menjadikannya tak berdaya, dan suatu malam, ia mengambil keputusan untuk pergi jauh hingga ia menemukan jawaban.
Hidayah mulai menjelajahi waktu dengan lebih diberani. Ia berhasil menyelami ke masa-masa berbeda, dari masa kolonial, masa kejayaan kota, hingga saat-saat menggembirakan saat festival kebudayaan berlangsung. Selalu ada sesuatu yang hilang: kehangatan keluarga, pencarian cinta, dan bahkan ketulusan antar sesama. Meskipun segala fasilitas dan kebahagiaan tampak berlimpah, tidak ada satu pun yang bisa menggantikan kehadiran orang-orang yang ia cintai.
Suatu ketika, saat menjelajah di sebuah toko buku tua, Hidayah menemukan sebuah buku harian yang ditinggalkan. Buku itu milik seorang penulis yang mengalami hal serupa—penjelajahan waktu dalam pencarian jawaban tentang kehampaan hidup. Dalam buku itu, Hidayah menemukan bahwa penulis menciptakan sesuatu yang luar biasa: sebuah cerita tentang penyu yang bisa mengubah takdirnya dengan menciptakan perubahan dalam waktu.
Mendapatkan inspirasi dari buku harian itu, Hidayah memutuskan untuk melakukan hal berbeda. Alih-alih fokus pada pencarian masa lalu, ia akan mencoba untuk membuat perubahan di masa kini. Dengan jam tangan di pergelangan tangan, ia kembali ke Kota Kiamat dengan harapan baru. Ia mulai berinteraksi dengan para penyintas lainnya, mempelajari keterampilan baru, dan membagikan pengetahuannya.
Bersejarah menjadi komunitas, Hidayah dan para penyintas mulai membangun kembali kota dengan tangan gemetar dan hati yang penuh harapan. Mereka berbagi makanan, membantu satu sama lain, dan mulai mengisi ruang kosong dalam hidup satu sama lain. Hari demi hari, benih perubahan mulai tumbuh, dan Kota Kiamat mulai bangkit kembali, walaupun tidak sepenuhnya sama seperti sebelumnya.
Hidayah menyadari bahwa kehidupan tidak hanya tentang waktu, tetapi juga bagaimana kita menggunakan waktu yang kita miliki. Ia tidak lagi terjebak dalam pencarian masa lalu, melainkan fokus pada masa kini dan masa depan yang bisa dibangunnya. Jam tangan antik itu menjadi simbol perjalanan yang mengajarkan bahwa setiap saat berharga; hanya dengan bekerja sama dan berbagi harapan, kita dapat menciptakan keajaiban di dunia yang hancur.
Akhirnya, Kota Kiamat perlahan menjadi Kota Harapan. Hidayah terus menyimpan jam tangan itu, tidak untuk menjelajahi waktu lagi, tetapi sebagai pengingat akan perjalanan yang telah dilaluinya. Ia pahami bahwa meskipun waktu terus bergerak, ikatan yang dibentuk di antara manusia adalah sesuatu yang akan abadi, menembus batas waktu.
Dan di suatu malam yang tenang, saat ia duduk di bawah sinar bulan yang terang, Hidayah mengingat semua yang telah terjadi. Ia tersenyum, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kota yang kini telah kembali hidup. Kehidupan, dan jejak waktu yang terukir di dalamnya, telah mengajarkan banyak hal tentang harapan dan cinta.
—
**Gambaran Artikel:**
Gambar yang dicantumkan dalam artikel ini menunjukkan suasana kota hancur dengan langit yang kelam, tetapi di sudut lain, terdapat cahaya lembut yang menyorot bangunan yang direnovasi, menggambarkan harapan dan kebangkitan. Cigra juga mengenakan pakaian usang, mengangkat jam tangan antik di tengah keramaian, menunjukkan perjalanan waktu dan kekuatan penemuan.