Makhluk yang Menunggu di Ruang Terlantar
August 26, 2024
Di pinggiran kota yang sudah lama dilupakan, terdapat sebuah gedung tua yang dikenal sebagai Rumah Sakit Harapan. Gedung itu terbuat dari bata merah yang sudah mulai retak, diungkap oleh lumut hijau tua yang merayap di dindingnya. Banyak cerita menyeramkan beredar tentang tempat ini—konon, rumah sakit ini ditutup bertahun-tahun lalu setelah terjadinya insiden misterius yang merenggut nyawa banyak pasien. Sejak saat itu, tempat ini menjadi ruang terlantar yang dikelilingi oleh mitos dan ketakutan.
Seolah tertarik oleh aura misterius tersebut, seorang pemuda bernama Rian memutuskan untuk menjelajahi Rumah Sakit Harapan. Rian adalah seorang penggemar horor dan memiliki hobi menjelajahi tempat-tempat angker. Dengan senter di tangan dan tas ransel berisi peralatan, ia melangkahkan kakinya ke arah pintu masuk yang setengah terbuka.
Saat melangkah ke dalam, bau lembap dan debu menyambutnya. Langit di luar mulai gelap, memancarkan cahaya oranye yang suram ke dalam gedung. Seakan tempat itu memiliki kehidupan tersendiri, Rian merasa ada sesuatu yang menunggunya di balik bayang-bayang dinding.
Dengan hati-hati, Rian melangkah ke ruang perawatan yang terletak di lantai dua. Langit-langit dari ruang tersebut rendah, dengan lampu gantung yang sudah tidak berfungsi. Rian meneruskan penelitiannya, namun semakin dalam ia masuk, semakin kuatlah perasaan aneh yang menjalar di punggungnya. “Mungkin hanya imajinasiku,” pikirnya, berusaha menenangkan diri.
Saat ia menelusuri deretan ranjang kosong dan instrumen medis yang berkarat, Rian mendengar suara halus, seperti desahan dari kejauhan. Suara itu menggelitik rasa ingin tahunya. Semakin ia mendekat, suara tersebut semakin jelas, seolah ada seseorang yang menunggu untuk bertemu dengannya.
Rian pun mencari sumber suara tersebut. Dengan langkah pelan, ia menuju sebuah ruangan yang lebih kecil di pojok ruangan. Pintu kayu yang setengah terbuka itu nampak menggoda. Dalam hati, Rian berdoa supaya tidak menemukan sesuatu yang akan membuat jantungnya berdegup kencang. Namun, rasa takutnya hanya membuatnya semakin penasaran.
Ketika Rian membuka pintu itu, ia terperangah. Di dalam ruangan tersebut, terdapat sebuah makhluk kecil yang duduk di sudut ruangan, dikelilingi barang-barang bengkok dan berdebu. Makhluk itu memiliki kulit pucat, rambut acak-acakan, dan mata besar yang menyala dalam gelap. Ia tampak rapuh, seolah baru saja keluar dari kegelapan.
Rian tertegun dan berusaha memahami keadaan makhluk itu. “Siapa kau?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Makhluk itu tidak menjawab, hanya menatap Rian dengan tatapan penuh harapan. Rian merasa seakan ada cerita yang terpendam di balik tatapan itu. Dalam keheningan, Rian mencoba mendekat. Tidak ada rencana untuk melarikan diri—ada sesuatu yang memanggilnya untuk mendekat.
“Apakah kau tersesat?” Rian bertanya lagi, merasa aneh berbicara dengan makhluk yang tidak dikenalnya ini. Makhluk tersebut mengangguk lemah, tatapannya masih tidak beranjak dari Rian. “Aku sudah menunggu…,” bisiknya, suaranya seperti desah angin yang berembus lembut.
Rian terkejut. “Menunggu siapa?”
“Menunggu seseorang yang bisa melihatku,” jawabnya, dan Rian merasakan getaran di suara itu. “Aku terjebak di sini, tidak bisa pergi.”
Si makhluk itu melanjutkan, “Dulu, aku seorang pasien. Ketika rumah sakit ini tutup, semua orang pergi, tetapi aku tidak bisa. Aku terjebak di antara dunia ini dan dunia lain. Sangat sepi di sini, hanya suara kenangan yang menemaniku.”
Rian merasa bahwa ia sedang mendengarkan sebuah kisah yang luar biasa. “Lalu, bagaimana aku bisa membantumu?” tanyanya.
Makhluk itu diam sejenak, lalu dengan suara pelan, ia menjawab, “Kau harus mengingatku. Sebuah kenangan. Kenangan tentang kebaikan, cinta, sesuatu yang menyentuh hatimu. Ketika kenangan itu tumbuh, aku akan bisa pergi.”
Rian merasa tergerak, napasnya terasa berat mendengar penjelasan itu. Dengan pikiran yang berkecamuk, ia mengingat kembali masa-masa indah dalam hidupnya, saat bersama keluarganya, saat di mana kebahagiaan dan cinta mengalir deras. “Apa itu cukup?” tanyanya, harap-harap cemas.
“Ya, kau sudah mendengar. Sekarang kau harus merasakannya,” makhluk itu berkata penuh harap. Rian menutup matanya dan membayangkan saat-saat berharga itu, membiarkannya menyentuh jiwanya.
Secara bertahap, ia merasakan kehangatan dalam dirinya, dan tiba-tiba, rasanya seperti energi mengalir antara mereka berdua. Rian merasa tubuhnya menjadi ringan, seolah-olah ia dan makhluk itu terhubung dalam satu ruang yang sama. Saat itu, makhluk itu tersenyum, dan Rian bisa melihat matanya bersinar cerah.
“Terima kasih, Rian. Aku merasa lebih dekat dengan kenangan itu,” kata makhluk tersebut. “Ini adalah saat yang tepat.”
Tiba-tiba, ruangan menjadi terang. Rian merasa gelombang kehangatan mengelilingi mereka saat makhluk itu mengangkat kedua tangannya. Cahaya putih memancar, mengisi seluruh ruang yang gelap. Dalam sekejap, Rian melihat bayangan masa lalunya—keluarga, teman, dan cinta—semua berkumpul, memberi semangat pada makhluk tersebut.
“Sekarang, saatnya aku pergi,” kata makhluk itu. Suaranya sekarang terdengar lebih jelas, lebih kuat. “Terima kasih telah mengingatkan aku pada cinta yang membuatku bertahan.”
Makhluk itu mulai memudar, lambat laun menghilang dalam cahaya yang menyilaukan. Rian terpesona, menyaksikan makhluk yang menunggunya berpindah menuju cahaya, seolah-olah seluruh kegelapan di dalam dirnya sirna.
Setelah beberapa saat, cahaya mereda, dan Rian kini sendirian di ruangan itu. Namun, rasa sepi yang sebelumnya menyelimutinya kini tergantikan oleh perasaan damai. Meskipun makhluk itu telah pergi, kenangan akan keberadaannya tetap hidup di dalam dirinya.
Rian keluar dari Rumah Sakit Harapan, membawa cerita yang mendalam dalam hatinya. Ternyata, makhluk yang menunggu di ruang terlantar itu bukan sekadar hantu atau ilusi, tetapi bagian dari kehidupan yang hilang. Kini, setiap kali Rian mengenang momen bahagia dalam hidupnya, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Dan setiap kali ia menatap gedung tua itu, ia akan tersenyum, mengingat makhluk yang telah membawanya kembali kepada arti cinta dan harapan.
Rumah Sakit Harapan tetap berdiri, terlantar dan sunyi, tetapi kini bagi Rian, tempat itu bukan lagi sekadar gedung angker. Ia adalah saksi dari sebuah kenangan yang tidak akan pernah pudar—kenangan tentang sebuah makhluk yang menunggu dan harapan yang tidak pernah usai.
—
**Deskripsi Gambar untuk Artikel:**
Gambar menunjukkan suasana luar Rumah Sakit Harapan yang tua dan terlantar. Gedung tiga lantai itu terbuat dari bata merah yang sudah mulai retak, dikelilingi tanaman merambat dan dedaunan kering. Di depannya, ada pintu kayu yang setengah terbuka, mengundang rasa ingin tahu. Senja memancarkan cahaya oranye keemasan, menciptakan bayangan misterius di sekitar gedung. Suasana gambar memberikan nuansa angker namun sekaligus menampilkan keindahan vintage yang membuat orang tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh.